May 17, 2011

Terapi TB-HIV

Obat-obatan lini pertama, rifampisin (R) – Isoniazid (H) – Etambutol
(E) – dan pyrazinamid (Z), adalah obat-obat yang potensial untuk
menangani kasus-kasus infeksi MTB. Obat-obatan lini kedua mungkin juga
bisa dipikirkan untuk digunakan, seperti streptomisin – amikasin –
capreomisin – prothionamid – moxifloxacin – lovofloxacin – sikloserin –
dan linezolid. Streptomisin tidak tersedia dalam bentuk oral sehingga
harus diberikan secara intra vena atau intra muskuler, dan harus
digunakan apabila terdapat kegagalan terapi pada lini obat-obatan lini
pertama, misalnya jika ada masalah resistensi, alergi atau toksisitas.



Pada kasus-kasus yang tanpa komplikasi, TB paru baik pada HIV sero
negatif atau sero positif, dapat diterapi dengan baik dengan
menggunakan standard terapi selama 6 bulan. Untuk menghindari
perkembangan resistensi obat, TB aktif harus selalu diobati dalam fase
insial selama 2 bulan dengan kombinasi obat RHEZ. Diikuti dengan fase
lanjutan 4 bulan dengan R dan H.

Rawat inap pasien di rumah sakit diindikasikan untuk menghindari
penyebaran bakteri kepada orang lain sampai fase periode penularan
berhasil diatasi (biasanya selama 2 minggu terapi – umbrella period).
Selama masih ada BTA di dalam sputum, idealnya pasien harus tetap di
rawat di rumah sakit (namun agak sulit diterapkan di negeri kita
mengingat banyaknya infeksi yang terjadi pada populasi). Durasi fase
periode penularan pada pasien dengan TB paru bergantung pada jumlah
lesi dan kavitas pada paru. Sputum sebaiknya diperiksa secara berkala
(seminggu sekali pada fase inisial) dan dievaluasi dengan tes kultur
sampai akhir pengobatan.

Kegagalan pengobatan terjadi jika ada resistensi obat, kepatuhan
yang rendah atau durasi pengobatan yang terlalu singkat. Jika sputum
masih positif setelah fase inisial atau pada kasus-kasus pengobatan
fase inisial menggunakan rejimen yang berbeda dari yang
direkomendasikan, durasi pengobatan sebaiknya diperpanjang sampai 9
bulan atau lebih lama lagi. Pengobatan akan memerlukan waktu lebih lama
(fase lanjutan mungkin 7 bulan). Meskipun fase inisial berhasil, namun
angka kejadian rekuren TB paru pada pasien seropositif HIV lebih sering
terjadi jika dibandingkan dengan pasien seronegatif.




Efek samping obat


Efek samping ayng sering timbul ada pada tabel di bawah ini :




Obat TB


Dosis harian

Efek samping

ket

Rifampin

10 mg/kgBB

hepatotoksik

monitor LFT

  

> 50 kg = 600 mg

alergi

SGOT/PT

 


< 50 kg = 450 mg

demam

  

 


  

gangguan GIT

  

  


  

anoreksi

  

  

  

vomitus

  

  

  

nausea


  

  

  

perubahan warna urin


  

  

  

trombositopenia

  

Isoniazod (INH)

5 mg/kgBB

hepatotoksik

hindari pada pasien dg gangguan hati


  

maksimal 300 mg

periperal neuropathy

hindari minum alkohol


  

tambahkan vit B6

psikosis

monitor LFT


  

  

kejang

SGOT/PT

Etambutol

40-55 kg = 800 mg/hari

neuritis optikus

periksa fungsi penglihatan


  

56-75 kg = 1200 mg/hari

hiperuricemia

periksa test buta warna


  

76-90 kg = 1600 mg/hari

  

hindari pada pasien dengan gangguan n. opticus

Pyrazinamid

30 mg/kgBB

athralgia

pikirkan pemberian allopurinol


  

maksimal 2 gram

hyperuricemia

monitor LFT


  

  

hepatotoksik

SGOT/PT

Jika terdapat toksisitas pada salah satu obat, harus dihentikan dan
obat harus di restart lagi. Jika pada hari ketiga tidak terdapat
gangguan efek samping lagi, maka obat bisa diteruskan dan dilanjutkan
sebagai moda terapi.




Obat


Hari 1 (mg)

Hari 2 (mg)

Hari 3 (mg)

INH

50

300

5 mg/kgBB/hari, maks 300 mg

Rifampisin


75

300

10 mg/kgBB/hari, maks 600 mg

Pyrazinamid


250

1000

25 mg/kgBB/hari, maks 2 gr

Etambutol


100

500

25 mg/kgBB/hari, maks 2 gr




ART dan TERAPI TB


Ada beberapa isu yang harus dipikirkan dalam menangani dual infeksi HIV dan TB

  1. Reaksi paradoksikal
    Pasien yang sudah mendapat terapi obat ARV, biasanya akan mendapat
    reaksi paradoksikal atau yang lebih dikenal dengan nama IRIS. Pasien
    dengan ART akan lima kali lebih mudah mendapat IRIS dibandingkan dengan
    pasien tanpa ART. Hal ini kemungkinan disebabkan karena eksaserbasi
    akut antigen MTB terhadap respon imun TH1.



  2. Adherence
    Kepatuhan pengobatan merupakan hal yang sulit karena banyaknya obat
    ART dan obat DOTS yang harus dikonsumsi. Hal ini dipersulit juga dengan
    toksisitas yang overlapping antara obat DOTS dan ART.
  3. Interaksi obat
    Banyak interaksi farmakologis antara ART dan DOTS

  • Rifampisin dan PI masing-masing bekerja pada cytochrome P450 3A. Sehingga terapi antara DOTS dan PI harus dihindari.
  • Meskipun kombinasi 2 NRTI dan 1 NNRTI merupakan kombinasi yang
    optimal, namun mungkin perlu dipikirkan kombinasi 3 NRTI (triple nukes)
    selama terapi TB-HIV. Hal ini untuk menghindari kemungkinan
    hepatotoksisitas.
  1. Prioritas
    Karena dual infeksi ini sama-sama mempunyai kriteria kronis yang
    penting perlu dipikirkan untuk memulai terapi pada kasus mana terlebih
    dahulu.
  • Pada kasus imunosupresi yang berat (CD4 < 100), mungkin perlu
    dipikirkan untuk memulai terapi TB terlebih dahulu kemudian kita bisa
    memulai terapi ART minimal 2 minggu setelah terapi DOTS. Pasien haris
    dimonitor secara ketat untuk mengantisipasi terjadinya IRIS.

  • Pada kasus CD4 antara 100-200, DOTS bisa dimulai terlebih dahulu
    dan ART bisa mengikuti setelah 2 bulan kemudian. Pada saat ini rejimen
    DOTS sudah menjadi lebih ringan dibandingkan fase inisial.
  • Pada kasus CD4 lebih dari 200, terapi ART bisa dimulai setelah DOTS selesai, setelah 6 atau 9 bulan kemudian.

0 comments:

 
Copyright 2015 - KOREK BUNDAR - Terapi TB-HIV
Design By Adsense Template